“Teologi
Liberalisme terpengaruh rasionalisme zaman menolak hal-hal yang
bersifat mukjizat (miracle) dan supra-alami (super natural), karena itu
penganut teologi liberal menerima agama sebagai catatan beragama manusia
dan mereka memisahkan fakta-fakta yang dianggap imani dan alami,
demikian juga hal-hal yang menyangkut kematian dan kebangkitan Yesus
dipandang secara dikotomis demikian.”
Para teolog liberal dan Jesus Seminar
mengakui sifat sejarah kehidupan dan pelayanan Yesus. Namun, yang
dipercaya itu adalah bahwa Yesus yang manusia itu mati disalibkan,
dikuburkan, tetapi tidak bangkit, apalagi naik ke surga, atau bahwa
Yesus hanya mati suri dan diwaktu lain mati secara wajar. Yesus hanya
manusia biasa tanpa mukjizat. Yesus hanya bangkit dalam iman para
pengikut-Nya secara metafora.
Yang mirip dengan pandangan Ahmadiyah dan Hasnain adalah pandangan Barbara Thiering. Teolog Australia itu dalam bukunya, Jesus and the Riddle of the Dead Sea Scrolls (Barbara Thiering, The Riddle of the Dead Sea Scrolss,
Harper: San Francisco, 1991), menyebutkan hal yang sama, yaitu bahwa
Yesus tidak mati disalibkan, tetapi Ia hanya pingsan. Yang berbeda
adalah akhir hidup Yesus, yaitu bukan ke India, melainkan berkeluarga di
Palestina.
Thiering
juga menyebutkan bahwa Yesus disalibkan dan “mati”, lalu dikuburkan di
lorong gua Qumran bersama dengan Yudas Iskariot. Namun, Yesus sebenarnya
tidak mati meskipun diracun karena sebelum nyawa-Nya putus Ia berhasil
diselamatkan oleh Simon Magus, ahli obat-obatan, sehingga Ia kemudian
dapat melarikan diri melalui gua-gua Qumran. Itulah sebabnya Yesus
dianggap “mati” dan bangkit kembali.
Pandangan yang juga kontroversial adalah seri tulisan karya Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln yang berjudul Holy Blood, Holy Grail (A Dell Book, New York, 1982) dan lanjutannya yang berjudul The Messianic Legacy
(Corgi Books, Berkshire, 1987). Seperti telah dibahas sebelumnya,
buku-buku itu menyebutkan bahwa Yesus yang adalah keturunan Raja Daud
itu sebenarnya tidak mati disalib, tetapi pingsan, kemudian dikuburkan
secara tersembunyi di Taman Getsemani oleh Yusuf dari Arimatea. Hal itu
bisa terjadi karena Pilatus dan para prajurit sudah disuap (hal itu
tampaknya mengikuti versi Yahudi yang diceritakan di dalam Injil, yaitu
bahwa para ahli taurat menyuap para serdadu dalam Matius 28:13).
Dan Brown mendapat inspirasi dari buku Holy Blood, Holy Grail, kemudian ia menulis buku berupa novel The Da Vinci Code.
Dalam buku itu disebutkan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena
dan keturunannya bermukim di sebuah kapel di Skotlandia, Inggris.
Pandangan yang paling provokatif adalah pandangan yang diungkapkan oleh John Dominic Crossan, perintis Jesus Seminar, dalam buku yang didasarkan studinya pada sumber di luar Injil kanonik, yaitu kitab apokrifa dan kitab gnostik injil Thomas (salah satu karya yang ditemukan dalam pustaka gnostik di Nag Hamadi, Mesir, yang ditemukan sekitar tahun 1945) dan injil Petrus, ia
mengemukakan keberadaan “anjing-anjing yang berkeliaran di bawah salib”
dan bahwa sebenarnya “Yesus tidak disalibkan, tetapi dibiarkan mati
telantar sehingga kemungkinan jasad-Nya dimakan anjing” (John Dominic
Crossan, Jesus A Revolutionary Biography, Harper: San Francisco, 1994, hlm. 123–128) dan dalam bukunya yang lain, yang bersifat tanya jawab, Who Is Jesus, Crossan meneruskan ide Martin Hengel mengenai bagaimana Yesus mati. Dalam bahasanya sendiri, secara eksplisit ia mengemukakan,
“Tiga
hukuman Romawi yang utama adalah penyaliban, dibakar, dan kematian oleh
binatang buas. ... yang sering tidak kita sadari tentang penyaliban
adalah binatang pemangsa yang berkeliaran di bawah salib dan
anjing-anjing yang berkerumun di dekat orang yang sekarat atau mayat.
Para penulis Yunani-Romawi menyebut mereka yang disalib sebagai ‘makanan
jahat untuk burung pemangsa dan anjing-anjing.” ( Crossan, Who Is Jesus? Harper Paperback, 1996, hlm.125).
Selanjutnya, Crossan menyebutkan,
“Secara
normal para serdadu menjaga sampai orang yang disalib itu mati,
selanjutnya dibiarkan menjadi mangsa binatang pemangsa dan anjing, atau
binatang buas lainnya untuk menyelesaikan pekerjaan yang kejam itu.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, kengerian di luar penguburan
adalah bagian dari kebiasaan penyaliban, yang dimaksudkan oleh penguasa
sebagai peringatan yang mengerikan bagi yang lewat. ... Kengerian yang
paling besar yang mungkin adalah tidak ada penguburan sama sekali, Yesus
ditinggalkan di kayu salib untuk dimangsa oleh binatang pemangsa.” (Ibid., hlm.140,143.)
Meskipun
Crossan memopulerkan kematian Yesus yang mengerikan, termasuk
kemungkinan dimakan anjing-anjing dan binatang pemangsa yang berkeliaran
di bawah salib, ternyata ia bisa dengan mudahnya mendukung penemuan
osuari Yesus di makam Talpiot. Padahal, penemuan itu menganggap bahwa
Yesus dikubur secara normal dengan tulang-tulang lengkap, yang setahun
setelah kematian-Nya dikumpulkan ke dalam osuari. Bahkan, Crossan
menandaskan bahwa temuan makam di Talpiot itu adalah paku terakhir yang
ditancapkan pada peti mati literalisme biblis (Disebutkan oleh Ioanes
Rakhmat, “Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus” dalam Bentara, harian Kompas, 5 April 2007).
Kenyataannya
makam Talpiot di dekat Yerusalem itu bukan makam rahasia karena
gerbangnya besar dengan relief yang jelas, serta merupakan makam
keluarga yang tentu sudah ada secara turun-temurun dan jelas dikenal
umum.
Rupanya
Crossan sudah kehabisan “paku” sehingga tinggal satu paku yang terakhir
itulah yang dipakainya. Meskipun, sudah banyak paku yang dihamburkannya
untuk menghadirkan “makam-makam Talpiot” lainnya untuk mengubur Yesus
dan yang dikatakan sebagai para literalis biblis, ia tetap tidak
berhasil. Keduanya tetap hidup, yang pertama, Yesus, bangkit dan naik ke
surga, yang kedua’ para pengikut yang disebut lteralis biblis yang
memercayai kebangkitan-Nya menyebar ke seluruh dunia.
Banyak
variasi lain pandangan teologi liberal yang mau ‘mematikan Yesus yang
bangkit’ namun umumnya dapat diwakili oleh pandangan Crossan dan Jesus
Seminar.
Bersambung ke artikel: Masa sih Yudas Menyelamatkan Yesus ?